Minggu, 04 April 2021

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB

Definisi Shiyam)1

Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Kata tersebut dipakai untuk menyebut segala macam bentuk menahan diri. Allha Taala berfirman, menceritakan tentang Maryam’alaihi salam:

“Inni nadzartu lirrahmani saumaa falan ukalmalyauma insiyyaa.” (Sesungguhnya aku bernadzar shaum untuk Dzat Yang Maha Pengasih)2  yakni, diam dan menahan diri dari bicara.

Menurut syara’ shiyam adalah menahan diri dari semua pembatal puasa, sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari dengan niat beribadah kepada Allah Taala.

Keutamaan dan Faedah Puasa

1.             Shiyam  termasuk ibadah paling agung dalam mendekatkan diri kepada Allah, seorang mukmin diberi pahala karenanya dengan pahala tak terbatas, dengannya dosa-dosa terdahulu diampuni, dengannya wajah seorang dijauhkan dari api neraka, dengannya seorang berhak masuk jannah dari pintu khusus yang disediakan bagi orang-orang berpuasa, dengannya pula seorang hamba berbahagia ketika bertemu Rabbnya.

a.             Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

“Semua amal anak Adam menjadi miliknya selain puasa, sesungguhnya puasa itu   milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya. Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang dari kalian sedang puasa, janganlah ia berbuat dosa, berbuat gaduh dan berbuat bodoh, jika ada orang yang mencaci atau berkelahi dengannya hendaknya ia katakan: “Aku sedang puasa”-dua kali.- Demi Dzat Yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang puasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat daripada aroma kasturi.dan orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan: ketika ia berbuka ia bahagia dengan bukanya, dan ketika berjumpa Rabbnya ia bahagia dengan puasanya.”)3

b.            Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Man shooma romadhoona imaanaa wahtisaabaa ghufira lahu maa taqoddama min dzambihi (“Barangsiapa puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.”)4

c.            Dari Abu Said Al-Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda yang artinya:  

“Tidaklah seorang hamba puasa di jalan Allah satu hari, melainkan Allah jauhkan wajahnya dari neraka sejarak 70 parit.”)5

d.           Dan dari Sahl bin Sa’d bahwa Nabi bersabda yang artinya:

“Sesungguhnya  di Jannah ada satu pintu bernama Ar-Rayyan, di mana pada hari kiamat orang-orang yang puasa masuk darinya, tidak ada yang memasukinya selain mereka. Dikatakan: “Di manakah orang-orang yang puasa?” lalu mereka berdiri, tidak ada seorang pun yang memasukinya selain mereka. Jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk darinya.”)6

 

2.        Puasa adalah ‘madrasah akhlak’  besar yang di sana seorang mukmin melatih banyak sifat, ia adalah jihad melawan hawa nafsu dan godaan-godaan setan yang kadang mendatanginya, dengan puasa seseorang membiasakan diri untuk bersabar menahan sesuatu yang dilarang dia dekati, dan berbagai kegoncangan serta kengerian yang terkadang datang, ia menjadi tahu arti hidup teratur dan tertib, menumbuhkan dalam dirinya rasa kasih sayang, persaudaraan, solidaritas dan tollong-menolong yang mengikat sesama kaum muslimin.)7

 

1.      Al-Lubab (1/162). Al-Majmu’ (VI/248), Al-Mughni (III/84).

2.      QS. Maryam {19}: 26

3.      Shahih : diriwayatkan oleh Bukhari (1904). Muslim (1151), dan lain-lain.

4.      Shahih , diriwayatkan oleh Bukhari (1900). Muslim (760), dan lain-lain.

5.      Shahih: diriwayatkan oleh Bukhari (2840). Muslim (1153). Dan lain-lain

6.      Shahih: diriwayatkan oleh Bukhari (1896). Muslim ( 1152 ). Dan lain-lain.

7.      Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adilatuhu (II/566-568)

Sabtu, 03 April 2021

SHALAWAT ULUL 'AZMI By Miftahus Salim

 Denmas Priyadi  Blog "Kita Semua Wayang"

Sabtu, 03 April 2021

Khasiatnya:

1.      Apabila shalawat ini dibaca sebanyak 3 kali, maka sama dengan anda membaca Dalail Khairat, menurut Al-‘Arif As-Sawi dari Imam Jazuli.

 

Adapun bacaan Shalawat Ulul ‘Azmi adalah sebebagai berikut:

“Allahumma shalli wasallim wabaarik ‘alaa sayyidinaamuhammadin, wa sayyidinaa ibraahiima, wa sayyidinaa muusaa wa sayyidiinaa ‘iisaa, wamaa bainahum minan nabiyyiina wal-mursaliina shallatullahi wa salaamuhu ‘alaihim ajma’iin.”

 

Artinya:

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada penghulu kami Nabi Muhammad Saw, semoga dengan rahmat itu Engkau akan menyelamatkan kita dari segala keadaan yang mendebarkan dan dari semua malapetaka, Engkau memenuhi segala hajat kami, dengan rahmat itu Engkau akan mengangkat derajat kami, bahwasannya Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

 

Referensi:

Miftahus Salim “Silahul Aimah Benteng Mukmin

Dalam Menghadapi  Berbagai Masalah

Penerbit

Ampel Mulia Surabaya 1426 H/2006

Jumat, 02 April 2021

"MUSIK DAN ARTINYA" By Amir Pasaribu

 Kita Semua Wayang Jumat, 02 April 2021

Arti musik sebagai salah satu nilai kebudayaan manusia sudah bukan barang baru lagi. Sudah sejak dahulu diakui orang, yang kurang atau sangat tidak sempurna adalah pengertiannya. Kadang-kadang  malahan sekali tidak ada.

Memang gagah mengatakannya, “saya merasa”, lagi pula istilah seperti itu dapat dipahami. Tetapi yang merupakan syarat pengertian ialah kepahaman yang membuat jelas sifat ikut “merasa” itu, sehingga sesuatunya terang oleh pengertian tersebut.

Kurangnya pengertian itu jangan dianggap hanya terdapat pada si Tati dan Burhan saja! Di kalangan yang tergolong intelek pun ada, karena para cerdik pandai tidak mempunyai kesempatan untuk memperdalam pengertian musiknya, hingga mahir menyelami makna dan watak musikal. Bukan rahasia lagi, bahwa banyak yang mendengarkan musik dengan perhatian seperti membaca sebuah novel, cerita pendek atau sajak. Tidak jarang pula yang mendekati musik seperti mendekati ilmu pengetahuan. Bagi kebanyakan orang, musik itu tak lebih dari suatu hiburan. Karena kurangnya pengetahuan itu, sering juga terjadi sebab timbulnya prasangka yang bukan musikal,  aneka prasangka yang bukan-bukan. Satu sebab lagi ialah karena tidak adanya tuntunan memahami sendi dasar pengetahuan musik.

Hingga kini orang terlalu menitikberatkan pendiriannya pada serba perasaan. Perasaan dianggapnya sebagai satu-satunya pedoman untuk menghampiri ucapan musik. Tapi dalam kenyataan, perasaan demikian itu tidak lain dari diri yang terapung-apung, antara sadar dan terkena bius, hanyut mengapung di muka perairan irama dan melodi. Yang aktif bukankah si pendengar ini, ia hanya laksana barisan  di bawah pancuran atau douche. Selain ikut merasakan dan menikmati sentuhannya kita harus pula mampu mengerti akan sumber dan tenaga yang terpendam. Mengerti akan alat bangunan dalam pengucapan seperti harmoni, irama, melodi yang biarpun dalam ilmu dipisah-pisah pengertiannya, tetapi keliru bilamana dalam hubungan ciptaan seni, bahan-bahan itu secara estetis dianggap bukan satu keseluruhan yang bulat dan lengkap.

Dengan pendengaran yang teliti dan perhatian yang serba terbuka, akan sampailah kita ke dalam alam ciptaan seorang pencipta, alam kenyataan nada musikal percikan daya cipta seorang manusia kreatif. Dengan demikian si pendengar akan melintasi kenyataan ucapannya yang mulanya merupakan rahasia pengarangnya. Yang terjadi dalam diri si pendengar oleh nada-nada tangkapan rohani tidak kurang anehnya, serta ra keindahan dalam diri si pendengar itu terjadi rahasianya pun seperti ucapan ciptaan itu mula-mula.  Keindahan dalam diri si pendengar itu terjadi karena ia memiliki intuisi artistik. Intuisi itulah penunjuk jalan yang benar. Akan tetapi seindah-indahnya intuisi, toh ia hanya mengapung-apungkan si pendengar di atas arus irama, melodi, harmoni kolorit dan dinamik. Dengan demikian, ia perlu diberi beban untuk mampu mengerti, kenikmatan sadar. Dan kenikmatan yang sadar itu ialah merasakan dan mengerti.

Pendengar...yang ahli mempunyai kemampuan menyerah...pada...kekuasaan musik yang didengarnya. Kita tahu bahwa musik berkuasa dan mampu membuat sanubari terharu. Kemampuan itu dalam kesenian adalah satu unsur yang istimewa sekali; pada musik tidak kurang dibanfing dengan cabang seni lain seperti sastra, lukis, pahat dan lain-lain. Penyerahan tadi seolah-olah membiarkan diri menjadi resonans, papan gaung penerima permainan nada musik. Kita menyerah dan tidak memberikan perlawanan sedikitpun. Yang ada hanyalah minat kita yang penuh dengan harapan terhadap apa yang akan terdengar. Minat tadi seolah-olah sebagai sikap siap untuk mengerti, timbullah lagi keinginan kita menanyakan yang dipahaminya itu. Apa? Tentu apanya ini bukanlah sesuatu di luar wilayah nada musikal, tidak perlu mencari terjemahannya di dalam kamus (sebab memang tidak ada). Jika dimisalkan musik itu bahasa, maka ia adalah bahasa simbolik, perlambang nilai jiwa dan ucapan. Selai simbolisan itu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang dapat dibilang dengan tepat sekali. Malahan ketidatepatan itulah yang memberi sayap fantasi kita. Tidaklah tepat kita tanyakan apa artinya, seperti sesuatu perkataan dalam bahasa. Lagi pula suatu tafsiran itu tidak menjamin akan lebih benar pada tafsiran lain. Yang kita cari dalam semua bahasa musik adalah kenikmatan. Kenikmatan yang memberi ketegangan dan yang tidak, yang dalam reaksi kita itu ibarat pasang surutnya ombak, mengembung dan mengempis kembali, berbisik sesudah mengguruhnya ombak, mengembung dan mengempis kembali, berbisik sesudah mengguruh dan menggeledek! Masalah analis dan psikologis yang lain, biarpun serba menarik, semuanya harus mengalah pada kenikmatan emosi kita.

Kenikmatan emosi sebagai pokok yang dicari pendengar musik seringkali dilupakan, bahkan juga oleh para pemusik ahli. Seolah-olah horisonnya sudah dikaburkan oleh ilmu dan pengetahuannya. Walaupun para pemusik ahli itu sudah serba halus, tetapi pengertian musiknya itu lebih diperhalus. Hal itu tidak akan disangkal atau pun dicemooh, apalagi jika bentuk musikal besar yang menjadi sasarannya. Semakin utuh latihan dan pendengaran, akan lebih bernilai kenikmatan yang diperoleh; sehingga akan semakin sempurna pula nuansa kudus dalam ucapan musiknya. Misalnya jika sukacita yang diucapkan, maka siapa saja akan mengatakan, “Ah, itu sukacita!” tapi sukacita itu tidak hanya satu coraknya, bahkan macam-macam. Begitu pula yang mencampurinya, misalnya kelincahan, ketakutan, kegembiraan, mengalami tekanan, seolah-olah terbahak-bahak lupa daratan atau masih ingat batas-batasnya. Dan begitulah seterusnya selama bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan berbagai macam emosi.

Walaupun demikian, sudah sewajarnya bila sikap si pendengar mengandung diferensiasi, misalnya dia bisa mendengar musik Debussy dengan sikap yang sama seperti terhadap musik Bach. Hal semacam itu sebenarnya tidak boleh terjadi karena kedudukan musiknya lain dalam penempatan gayanya. Maka pengetahuan sejarah musik merupakan salah satu persiapan utama, karena dengan pengetahuan itu akan mampu menggunakan diferensiasi untuk pengertian apresiasi. Suatu kegembiraan hidup di zaman Mozart dalam musik, janganlah dicari di zaman romantik Jerman, sekitar tahun 1870, karena di Jerman pada saat itu orang sibuk dalam romantik individualistis. Malahan adalah satu kesalahan besar menyongsong musik ultra modern sekarang ini dengan ukuran nilai romantik Eropa abad lalu. Apalagi jika keharmonisan sekarang hendak diukur dengan keharmonisan abad itu. Tentu hasilnya akan dikatakan bukan musik, tapi berisik kakofoni. Padahal keharmonisan ultra modern itu hanya akibat dan konsekuensi dari yang ada pada abad ke- 19, tidak menyalahi suatu logika, dan merupakan kelanjutan perkembangan sebelumnya belaka.

Dan jika tadi ditanyakan tentang, apa yang dimengerti si pendengar, maka tidak lain adalah sesuatu yang dikemukakan dan dimaksud oleh penciptanya.

Walaupun ada yang dimengerti, tetapi cukuplah jika minat terpikat itu tertambat atau terbelenggu. Yang penting ialah bulatnya minat terpikat. Yang terdengar itu tidak lain adalah isi lubuk hati penciptanya, seperti tercermin dalam ciptaan itu. 

Sumber:

Amir Pasaribu:

“Analisis Musik Indonesia” hal. 13-16

Penerbit:

PT. Pantja Simpati Jakarta 1986

 

 

Rabu, 14 Oktober 2020

BELAJAR DARI KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR By Ki Slamet 42

 

                         

Belajar itu merubah atau memperbaiki tingkah laku

Dari tak pandai jadi pandai,  dari tak tahu jadi tahu

Lewatlah latihan-latihan kontak dengan lingkungan

 

Agar semuanya itu berhasil dengan baik dibutuhkan

sikap serta kemauan keras, kegigihan, dan pelatihan

yang terus menerus dan tingginya tingkat kesabaran

 

Hal tersebut  sebagaimanalah  yang  telah dilakukan

Nabi Musa saat berguru kepada Khidir diriwayatkan

'Ubaidillah bin 'Utbah bin Mas'ud, dari Ibnu 'Abbas.

 

Pada saat Ibnu  ‘Abbas berdiskusi  dengan Alhir bin

 Qais bin Hisn al-Farazi tentang Nabi Musa dan Khidir

Melintaslah  di hadapan mereka itu  ‘Ubai bin Ka’ab.

Ibnu ‘Abbas segeralah memanggilnya seraya berkata:

 

“Aku dan saudaraku ini sedang mendiskusikan sahabat

Nabi Musa ‘alayhis-salam, Khidir”. Nabi Musa sampai

memintalah petunjuk dengannya. Apakah kamu pernah

mendengar Rasulullah  menjelaskan  tentang hal itu?”

 

“Ya,” kata ‘Ubay bin Ka’ab. “Aku pernah mendengar

Rasullullah  Shallallâhu  ‘alahi wa Sallam  pernahlah

jelaskan tentang hal itu.” Lebih lanjut ‘Ubay bin Ka’ab

 menuturkanlah bahwasannya Beliau pernah bersabda:

 

Ketika Nabi Musa berada di tengah-tengah Bani Israel,

Maka datanglah seseorang lalu bertanyalah kepadanya,

“Apa  anda tahu  orang yang berilmu daripada Anda?”

“Tidak,” jawab Nabi Musa. Maka, Allah mewahyukan

kepada  Nabi Musa, “Ada wahai Musa. Ia itu Khidir.”

 

Musa lalu memohon kepada Allah agar dapat petunjuk

temui Khidir. Lalu, Allah jadikan ikan sebagai tandanya

Dikatakan  kepadanya, “Jika kamu kehilangan ikan ini,

Maka kembali segera  dan  kamu akan menjumpainya.”

 

Nabi Musa pun mengikuti jejak ikan itu di lautan segara

Murid Nabi Musa  berkata kepadanya,  “Tahukah Anda

tatkala  kita mencari tempatlah berlindung  di  batu tadi,

sesungguhnyalah aku lupa menceritakan tentang ikan itu.

 

Tak ada yang lupa tuk menceritakannya, kecuali setan.”

“Inilah tempat yang selama inikita cari” kata Nabi Musa

Lalu  keduanya itu pun  mengikuti  jejak mereka semula

(Q.s. al-Kahfi[18]: 63-64). lalu mereka meneemui Khidir.

 

Saat Nabi Musa sampaikan keinginannya untuk berguru

kepada Khidir, persyaratan yang harus dipenuhinya ‘tuk

berguru kepada  Khidir adalah  mampu miliki sifat sabar

Kisah mereka seperti Allah ceritakanlah dalam Al-Qur’an*)

 

Dari kisah Nabi Musa berguru kepada Khidir di atas ada

pelajaran yang bisa kita petik. Pelajaran itu ialah berupa

empat prinsip belajar, yaitu:

1. Prinsip kemauan yang kuat,

2. Prinsip kegigihan dalam belajar,

3. Prinsip pengasahan diri yang terus menerus,  

4. Prinsip kesabaran yang tinggi.

 

 Keempat prinsip tersebutlah yang dimiliki Nabi Musa

saat berguru kepada Khidir.

*) Diriwayatkan 0leh Bhukhâri dan Muslim.

 

KSP42.Kam.151020.02:18WIB

 

R e f e r e n s i :

*Sarlito Wirawan Sarwono. 1976.

"Pengantar Umum Psikologi". Jakarta: Bulan Bintang.

*Dwi Budiyanto. 2009. “Prophetic Learning”.

Yogyakarta: pro-U Media.

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB Definisi Shiyam) 1 Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari...

"KONTEN ENTRY BLOG"